Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) membeberkan catatannya terhadap rekam jejak beberapa calon pimpinan (Capim) KPK periode 2024-2029 yang telah dinyatakan lolos tes profile assessment.
"Kami masih mencatat di sini masih ada sistem kontingen. Kita masih melihat di sini ada kontingen dari kepolisian yang masih cukup banyak dan kemudian dari kontingen jaksa juga," kata Ketua PBHI, Julius Ibrani, dalam diskusi bertajuk 'Darurat Demokrasi, KPK Dalam Cengkeraman?', Rabu (11/9).
Untuk para Capim KPK dengan latar belakang Polri, ia mengambil contoh Kapolda Kalteng, Irjen Djoko Poerwanto. Di mana, dari rekam jejak yang didapat, Irjen Djoko dinilai anti-demokrasi.
"Misalnya seperti nama Djoko Poerwanto, dia pernah membubarkan dan bahkan mengeluarkan maklumat untuk tidak boleh berdemo pada saat menjabat sebagai Kapolda NTB," ungkap Julius.
Selain itu, Djoko juga disebut mendaftarkan diri sebagai capim bersamaan dengan wakilnya di Polda Kalteng, Brigjen Rakhmad Setyadi. Hal ini dinilai janggal oleh Julius.
"Ini kan tentu hal-hal yang janggal, seolah-olah memasukkan bersama kontingennya sendiri. Ini kan tidak baik bagi masalah koordinasi dan juga sinkronisasi kerja dengan kepolisian," ujar dia.
Julius juga menyoroti anggota Polri lainnya, yakni Komjen Setyo Budianto. Di mana, saat ini Setyo menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian.
Hal ini dinilai Julius berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, KPK diketahui masih terus mengusut kasus korupsi yang melibatkan eks Mentan, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
"Di level itu perlu ada titik waspada soal adanya konflik kepentingan, apabila kemudian dia menjadi pimpinan. Apakah dia bersinggungan dengan posisinya sebagai inspektur jenderal di kementerian pertanian atau tidak," papar Julius.
"Malah menurut kami justru lebih bagus dia tetap berada di kementerian pertanian, lalu berkoordinasi untuk memberantas korupsi di internal kementerian pertanian sesuai dengan tupoksinya sebagai Irjen gitu," sambung dia.
Selain dari Polri, Julius juga mempersoalkan capim dari internal KPK. Seperti misalnya Johanis Tanak yang juga punya latar belakang sebagai jaksa. Menurut dia, Tanak memiliki sederet kontroversi ketika menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
"Kita tahu dia terlibat di dalam kasus dugaan pelanggaran etik chat via WA dengan salah satu pihak yang sedang diperiksa oleh KPK sendiri. Ini tentu menjadi pertanyaan besar kok bisa ini lolos lagi?" ujar Julius.
"Dan kalau kita lihat juga kenaikan harta kekayaannya secara signifikan itu patut mencurigakan. Harus ada penelusuran lebih detail bahwa harta kekayaan dan kinerja ini harus menjadi catatan," tambah dia.