Sebagian warga Belitung percaya hantu Penebok merupakan hantu yang mendatangi korban dan mencabut kepala korban yang digunakan sebagai tumbal. Mereka beranggapan bahwa Penebok muncul karena ia lepas dari perangkapnya.
Sementara itu, The Bell atau lonceng ini juga merujuk pada mitos lonceng keramat yang dimiliki para dukun kampung di Belitung. Di dalam lonceng inilah sang dukun mengurung setan, arwah penasaran, bahkan hantu Penebok.
The Bell juga bisa jadi kependekan dari kata ‘Belitung’, tempat lokasi cerita hantu Panebok hidup sebagai mitos atau realita yang dituturkan dari waktu ke waktu.
Konon, hantu ini adalah jelmaan dari noni Belanda yang meninggal dan dibunuh secara misterius karena mempertahankan tanahnya. Itu sebabnya, hantu Penebok selalu mencari korban dengan melepas kepala korban.
Produksi The Bell: Panggilan untuk Mati dilakukan seluruhnya di kawasan Belitung Timur. Tim produksi menjalankan proses syuting selama kurang lebih 16 hari.
“The Bell menjadi film ketiga yang mengeksplorasi potensi Belitung Timur secara khusus. Dua film awal adalah Laskar Pelangi dan A Man Called Ahok. Keduanya sukses produksi dan sukses penjualan sebagai film box-office,” jelas Budi Yulianto, Eksekutif Produser film The Bell. Budi Yulianto dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan.
"Belitung Timur ini punya kelebihan sebagai lokasi produksi film seperti studio alam yang sangat luas. Bermacam latar lokasi tersedia secara alami, pantai-pantai jernih berpasir lembut, kontur tanah berbukit, bangunan kuno era kolonial, tanah bekas tambang, sampai minimnya gangguan suara di lokasi produksi," imbuhnya.
Selain Ratu Sofya, film The Bell: Panggilan untuk Mati juga dibintangi oleh Bhisma Mulia, Givina Dewi, Syalom Razade, Mathias Muchus, Septian Dwi Cahyo, Nabil Lunggana. Film ini disutradarai oleh Jay Sukmo.
“Dari begitu banyak urban legend yang sudah dikenal penonton film, kami ingin cerita dan mitos hantu Penebok juga menjadi bagian liga horor Indonesia,” tutup Budi Yuianto.